Kamis, 05 Juli 2012

Lintas ASEAN


GEOGRAFI ASIA TENGGARA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS TARBIYAH dan KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Diselesaikan oleh  :  Syahbani Putra Gunadi                                                     Kamis, 07 Juni 2012
Nim                      :  1110015000036
Jenis tugas            :  Kutipan Artikel dan Analisis

”Cetak Biru ASEAN Economic Community (AEC)”
 (Abstrak)
            Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.
            Dalam rangka menghilangkan hambatan ekonomi Negara-negara anggota, pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati ”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”. Dalam konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN Economic Community (AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu :
a.    Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);
b.    Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
c.    Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata  (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan
d.    Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network).

Dikutip dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=”cetak biru asean economic community (aec)”/19-6-2012/10:35WIB.


“Dampak Cetak Biru AEC Bagi Indonesia”
(By Syahbani)

Setelah lima tahun ditandatangani cetak biru AEC pada tahun 2007 di Singapura yang direncanakan pada KTT ke-12 di Cebu Filipina, Indonesia sebagai salah satu pencetus kesepakatan cetak biru AEC belum sama sekali melihatkan perubahan ekonomi yang menguntungkan bagi perekonomian Negara. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah Indonesia siap menghadapi arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal?. Untuk menjawab pertanyaan ini disini akan dijelaskan dan dianalisis satu persatu tentang isi kesepakatan AEC.
Dalam kesepakatan AEC poin (A) dijelaskan bahwa; ”Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal)”.
Pada bagian kalimat poin (A) diatas dikatakan bahwa dalam mewujudkan perekonomian ASEAN yang terintegrasi maka diadakan suatu pasar yang dikenal dengan sebutan single market.  Sebagai mana yang kita ketahui bahwa single market merupakan sebuah pasar tunggal dimana jenis blok perdagangan yang terdiri dari area perdagangan bebas (untuk barang) dengan kebijakan umum peraturan produk, dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dan dari perusahaan dan jasa. Dengan tujuan agar pergerakan modal, tenaga kerja, barang, dan jasa antara anggota semudah dalam diri mereka, baik dari segi  fisik (batas), teknis (standar) dan fiskal (pajak), serta hambatan antara negara-negara anggota akan dihapus semaksimal mungkin.
Setelah kita memahami bahwa single market itu merupakan suatu perdagangan bebas antara Negara anggota, maka kita dapat melihat dan meninjau sejauhmana Indonesia mempersiapkan dirinya dalam menghadapi perekonomian berbasis kebebasan. Setelah lima tahun ditandatangani AEC ada beberapa kejanggalan yang terjadi pada perekonomian Indonesia khususnya pada ekonomi rakyat, yaitu;
Ø  Banyak usaha rakyat kecil dan menengah tutup usaha karena dikalahkan oleh produk asing,
Ø  Home industry menjadi semakin berkurang karena kecendrungan masyarakat untuk memilih barang dari luar dengan alasan lebih terjangkau dari produk dalam negri serta menganggap kualitas barang asing lebih bermutu dari produk local,
Ø  Adanya ketergantungan suatu negara pada negara lain yang berperan sebagai produsen,
Ø  Dampak yang jelas akan memakan korban yaitu industri-industri yang tidak siap menghadapi persaingan global terutama industri kecil, industri ini akan mati pelan-pelan, kemudian meminta korban berikutnya yakni;
Ø  Jutaan pengangguran.
Fenomena ini sudah terjadi namun kita menyaksikan Pemerintah cenderung menutup mata, melihat keadaan yang tidak sehat ini. Kita sadar bahwa pasar bebas merupakan salah satu bentuk dari globalisasi ekonomi. Pengaruh dari globalisasi pada perkembangan ekonomi Indonesia menuntut para pelaku ekonomi untuk semakin kreatif menciptakan produk-produk yang tidak hanya mampu bersaing dengan sesama produk buatan dalam negeri, namun juga harus mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Tanpa adanya pengembangan produk, sudah pasti produk mereka tidak akan bisa laku di pasaran. Terlebih sejak CAFTA (China Asia Free Trade Assosiation) diberlakukan, barang-barang dari China mulai membanjiri pasar Indonesia. Tidak hanya bentuk serta tampilan produk yang menarik, namun juga harga yang ditawarkan sangat murah bila dibandingkan dengan produk-produk buatan Indonesia. 
Sebenarnya banyak pihak yang menyayangkan mengapa Indonesia ikut menandatangani  CAFTA dan AEC. Tidak hanya karena dunia industri Indonesia dianggap belum siap menghadapi pengaruh globalisasi pada perkembangan ekonomi Indonesia, namun juga karena kondisi internal ekonomi Indonesia yang masih belum stabil. Namun dengan alasan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang jauh tertinggal dalam bidang ekonomi bila tidak turut serta dalam perjanjian CAFTA tersebut, maka siap atau tidak, akhirnya Indonesia terlibat dalam pasar bebas Asia.
Dari kenyataan yang ada maka dapat kita ketahui bahwa kesiapan Indonesia dalam menghadapi pasar bebas masih jauh dari yang diharapkan, ini semua terbukti dari beberapa kejanggalan dan kesulitan ekonomi yang di hadapi oleh semua elemen masyarakat. Adapun beberapa sector kurangnya kesiapan Indonesia dalam pasar bebas adalah sebagai berikut:
A.    Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam menyikapi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah tentang adanya perilaku bisnis yang kurang mendukung. Untuk itu semua diperlukan lembaga pelatihan yang dapat merubah dan mengarahkan perilaku agar sesuai dengan tuntutan bisnis.
Suatu pertanyaan yang perlu dilontarkan adalah, Bagaimana pemerintah daerah dapat menyikapi fenomena yang mempengaruhi kesiapannya dalam menjalankan peningkatan ekonomi wilayah. Sebagai bahan pembanding boleh kita melihat bagaimana kemajuan industri padat karya yang dilakukan oleh negara China, dimana menurut realita bahwa produk-produk (tekstil, elektronik dan sepeda motor) yang membanjiri pasar Indonesia saat ini adalah merupakan hasil industri padat karya. Sumber daya alam Indonesia pada umumnya masih berupa sumber daya alam murni yang masih harus memerlukan olahan lebih lanjut untuk mendapatkan dan menambah nilai ekonomis.
Sumberdaya alam murni selama ini lebih banyak digunakan sebagai input produksi bagi industri-industri besar termasuk logam dan kimia, yang selama ini Indonesia mengekspornya dalam bentuk murni sedangkan pengolahan selanjutnya dilakukan di negara lain. Sebagai contoh, Sumber Daya Alam Migas, Kimia dan hasil tambang lainnya seperti yang dilakukan oleh Freeport, Pertamina dan sebagian usaha perikanan. Akibatnya kita kurang dan bahkan tidak mendapatkan nilai tambah dan nilai garda (multyflier effect ) atas olahan tersebut. Sedangkan Sumber Daya yang selama ini dikelola oleh industri kecil dan menengah lebih banyak Sumber Daya yang bersifat hasil ikutan dari industri besar (Sihaan (2009).
Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia seharusnya betul-betul mempersiapkan segala sesuatu guna untuk mendapatkan keuntungan dari pasar bebas tersebut supaya sumber daya alam yang ada tidak di impor dalam bentuk mentah tetapi dalam betuk olahan bahkan kalau bisa berupa barang jadi, sehingga produk-produk Indonesia bisa membanjiri pasar bebas tersebut guna mendapatkan nilai tambah ekonomi bagi Negara.
B.     Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Adapun hal yang penting dan harus Negara ini siapkan adalah dari sector Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu tolak ukur kemajuan suatu Negara, jika iptek dinegara ini maju otomatis daya saing masyarakat dalam menghadapi globalisasi ekonomi semakin baik. Harus kita terima bahwa faktor Iptek masih memerlukan perjuangan yang sangat panjang. Kelemahan yang ada selama ini, adalah pembangunan Iptek dilakukan hanya untuk mengejar prestige di mata Internasional. Terjadinya pengerahan dana yang sangat besar untuk pemilikan peralatan, modal tidak rnendukung input produksi industri kecil. Sehingga produk-produk yang kita miliki yang tadinya memiliki keunggulan komparative tidak tereksploitir seperti argo industri pertanian dan perkebunan, perikanan dan peternakan, juga industri kerajinan.

C.     Pengendalian terhadap Impor Barang Luar Negeri
Dalam pasar bebas semua anggota AEC dan AFTA bebas mengekspor produknya kenegara anggota lainnya tampa harus membayar pajak. Dengan adanya kebebasan pajak ini produk-produk luar negri semakin membanjiri pasar di Indonesia sehingga para pengusaha yang bergerak di bidang pendistribusian lebih memilih barang luarnegri dengan alasan mendobrak biaya lebih murah di banding produk dalam negri. Hal inilah suatu kerugian yang nyata dihadapi Indonesia dalam menghadapi persaingan dalam pasar bebas.
Dalam hal pengendalian terhadap impor barang luar negeri menurut saya dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat agar membeli barang Indonesia karena akan mendukung laju peningkatan daya saing, karena barang-barang impor dari luar negeri banyak yang kualitasnya bagus dan murah dibanding produk Indonesia. Hal itu dapat menyebabkan Indonesia kehilangan daya saing. Maka diperlukannya iklan-iklan dan sosialisasi terhadap masyarakat akan cinta produk asli Indonesia. Peningkatan industri local diperlukan agar kualitas produk Indonesia dapat bersaing di dalam maupun di luar.
D.    Upaya Pemerintah
Kurangnya kesiapan pemerintah dalam menghadapi pasar bebas dapat dilihat dari Upaya pemerintah itu sendiri dalam menyikapi kemungkinan tantangan yang terjadi dalam memasuki pasar bebas. Dalam menyikapi pasar bebas seharusnya pemerintah peka terhadap kondisi yang ada. Pemerintah jangan hanya menunggu dan baru bertindak ketika telah terjadi kerugian dari pasar bebas tersebut. Ada beberapa upaya yang harus ditekankan oleh pemerintah dalam menghadapi pasar bebas yaitu:
1.      Pemerintah seharusnya memberlakukan safeguard (perlindungan pasar) terhadap barang khususnya produk China, yaitu dengan cara menaikkan tarif bea masuk khusus untuk produk Cina. Hal itu bukan tindakan tabu karena Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa pun melakukan tindakan tersebut. Bahkan tindakan safeguard ini diperbolehkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
2.      Pemerintah juga bisa melindungi produk dalam negeri yaitu dengan melakukan pengawasan mutu. Artinya produk dari luar yang tidak sesuai dengan standar mutu Indonesia yang telah ditetapkan, dilarang masuk ke pasar domestik. Ini dapat mencegah produk-produk yang tidak berkualitas masuk ke Indonesia, seperti yang sekarang ini kerap terjadi.
3.      Praktek KKN dan berbagai pungutan liar yang dilakukan Pemerintah disemua lapisan harus dibersihkan. Kalau tidak maka hal ini akan menyebabkan biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh terhadap daya saing produk dalam pasar intemasional.
4.      Yang tidak kalah penting, Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur yang ada dan meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia (SDM) agar dapat mendukung industri dalam negeri dalam menghadapi persaingan pasar bebas. SDM yang berkualitas dapat dilakukan dengan meningkatkan mutu pendidikan serta menjamin biaya pendidikan yang murah.
5.      Yang terakhir, kita sebagai bangsa Indonesia, harus lebih mencintai produk local ketimbang produk asing.
Dari kelima upaya diatas, ada satu kunci yang harus kita pahami dan tanamkan dalam diri masyarakat. Yaitu masyarakat harus mengerti bahwa kebebasan itu jatuh pada kita sebagai konsumen untuk memilih, apakah produk luar yang kebarat-baratan atau dengan harga yang sangat murah namun dengan kualitas yang tidak jelas ataukah produk sendiri yang merupakan hasil karya anak bangsa sendiri. Kalau kita memilih produk lokal, berarti kita ikut membantu memajukan industri dalam negeri, yang secara tidak langsung ikut mensejahterahkan masyarakat. Bila kelima hal tersebut dilakukan maka niscaya di era globalisasi dan perdagangan bebas ini, Indonesia akan mampu bangkit dan bersaing di pasar domestik maupun di pasar global sehingga diakui dimata dunia dan pada gilirannya dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang diharapkan seluruh rakyat Indonesia.
Dari beberapa uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya tidak siap sama sekali dalam memasuki pasar bebas karena jika dilihat dari berbagai sector baik itu dari sector industry, jasa, maupun dari kekuatan hukum yang berlaku, Indonesia masih lemah dan masih jauh dari kesiapan dalam memasuki pasar bebas sebagai mana tertuang dalam “cetak biru  AEC” dan perjanjian CAFTA.  Hal yang penulis kemukakan merupakan kenyataan yang terjadi di tengah perekonomian masyarakat Indonesia, dimana setiap masyarakat mengeluh karena merasa dirugikan semenjak memasuki era pasar bebas yang memasuki Indonesia.
Menurut penulis dalam menyikapi ini semua pemerintah hanya memiliki satu jalan yaitu harus tegas dalam menyikapi berbagai masalah dan rintangan yang berkaitan dengan perekonomian rakyatnya. Dan begitu juga bagi masyarakat Indonesia sendiri alangkah baiknya kita memajukan produk-produk kita dengan kecendrungan mencintai produk-produk dalam negri. Dengan begitu dari sector industry juga akan lebih berupaya untuk meningkatkan mutu dari hasil pruduksinya, sehingga produ-produk kita mampu bersaing dengan produk luar negri, dengan begitu otomatis para infestor yang ada di Indonesia akan kewalahan menanam modalnya di Indonesia, sehingga semua produk Indonesia bisa menguasai pasar bebas baik itu dalam maupun di luar negri.
*) Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FITK, UIN JAKARTA, angkatan 2010.

Kutipan Pustaka
Prasetya,Hery.2011.Manajemen Operasi.Cetakan Pertama.Jakarta Selatan:CAPS
           
Kobi,Daud S.T.2011.Transaksi Ekspor Impor.Edisi Ke-2.Yogyakarta:ANDI OFSET

Porter,M.1985. Harapan dan tantangan ekonomi lokal menuju perdagangan bebas,Jakarta:Porter dalam sihaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar